Banyak orang
bilang motret itu hobby yang mahal. Yah, aku setuju juga dengan pendapat
itu. Tetapi, sekaligus tidak setuju juga. Setuju karena untuk motret
dibutuhkan alat yang lumayan juga harganya. Tidak setuju karena sarana
memotret ada yang murah meriah. Persoalannya bukan soal seberapa mahal
alat yang dipunyai, tetapi bagaimana kita mengoptimalkan peralatan yang
dipunyai. Di sinilah letak daya kreatifitas dari masing-masing individu.
Sekali lagi, persoalannya bukan soal berapa banyak atau seberapa mahal
alat yang ada di tangan kita, tetapi bagaimana cara kita menggunakan dan
menguasai alat yang kita punyai.
Aku menggunakan kamera
DSlR. Namun, aku kadang malu ketika melihat sebuah foto yang ciamik dan
dihasilkan dari sebuah kamera saku atau bahkan kamera handphone. Aku
juga pernah punya pengalaman unik. Ada seorang teman kagum dengan
ketajaman sebuah foto yang dihasilkan oleh lensa berlabel 500an ribu.
Padahal teman itu memegang lensa berlabel L. Jadi, mengapa harus minder
ketika alat yang kita pegang hanya pas-pasan?
Dari berbagai
pengalaman itu, aku semakin sadar bahwa skill dan teknik memegang
peranan penting. Skill dan teknik bukan hanya semata-mata berkaitan
dengan teknis pemotretan, tetapi bermakna lebih luas. Bagiku, hal itu
berkaitan dengan sebelum pemotretan, pada saat pemotretan, dan setelah
pemotretan. Ketiganya terjalin erat satu sama lain. Dan hal itu juga
dipengaruhi oleh kemampuan pemotret dalam menguasai alat yang dimiliki.
Dalam konteks ini, belajat dan belajar adalah kunci suksesnya.
Belajar motret memang
takpernah ada habisnya. Ada banyak cara untuk belajar mengasah kemampuan
untuk menghasilkan sebuah karya foto yang memiliki nilai. Dalam proses
belajar memotret, aku punya kelemahan malas membaca. Kalau sudah bicara
soal teknis, langsung muncul bintang-bintang di sekitar kepalaku. Untuk
itulah, aku belajar dengan cara lain yang lebih mudah bagiku. Bagiku,
skill dan teknik bukan semata-mata urusan Aperture, ISO, dan Speed. Skill dan teknik lebih luas dari itu semua.
Pernah
ada pengalaman menarik. Aku belajar memotret dengan berangkat dari seni
lukis. Dalam seni lukis, utamanya aliran realis, penguasaan pencahayaan
sangatlah penting. Gradasi warna, gelap terang yang tepat akan semakin
menonjolkan obyek lukisan. Suatu hari, ada seorang teman mengomentari
fotoku demikian, “Om, kalau pake flash akan lebih ajib!” Untuk sekedar
memberikan pembelaan diri atas kekurangan, aku menjawab, “Terima kasih.
Tapi maaf, ya. Aku justru ingin menonjolkan dimensi gelap terangnya.”
Betapa tidak mudah menggambar sesuatu sebagaimana yang aku liat. Aku
sadar ada banyak hal yang belum aku mengerti. aku sadar ada sekian
banyak ruang gelap dalam dunia fotography yang sama sekali belum mampu
aku raba. Untuk itulah aku belajar dan belajar sembari menikmati setiap proses pembelajaran yang aku lalui.
Aku belajar memotret
dengan melihat. Ketika melihat sebuah karya foto yang cakep, aku
tertantang untuk menghasilkan foto yang seperti yang aku liat itu. Aku
tertantang dengan sebuah pertanyaan: bagaimana bisa menghasilkan foto
seperti yang aku liat itu. Pertanyaan itulah yang mendorongku untuk
terus menerus mencoba dan bereksperimen hingga aku sampai pada titik
merasa bisa. Bukan hasil yang membuatku puas, tetapi proses yang aku
lalui itulah yang membuatku merasa puas.
Apakah kemudian aku
jatuh pada sebutan menjiplak? Rasaku tidak. Aku yakin tidak pernah ada
sebuah karya foto yang sama identik meskipun obyek yang diambil sama dan
sudut pengambilan yang sama pula. Mengapa? Karena setiap pemotret
memiliki cita rasa yang berbeda. Dan lagi, dalam proses belajar itu aku
tidak tertantang untuk menghasilkan foto yang mendekati sama. Dengan
belajar melalui melihat hasil karya orang lain, aku berusaha mencari
jawaban sendiri atas pertanyaan yang muncul. Misalnya bagaimana
menghasilkan sebuah foto dengan pencahayaan seperti yang aku lihat.
Ketika melihat ada foto tetesan air, misalnya, aku tertantang untuk
menghasilkan foto seperti yang aku liat. Aku akan mencoba dan terus
mencoba dengan mengutak-atik sendiri settingan pada kameraku sehingga
aku bisa menghasilkan foto tetesan air.
Dengan cara ini,
aku semakin belajar mengekplorasi dan menguasai alat yang aku miliki
tanpa terjebak pada sebuah teori yang baku. Kebebasanku dalam
mengeksplorasi sebuah obyek, mengeksekusi obyek sesuai dengan konsep
yang telah terbangun dalam otakku, dan sekaligus memberi makna atas
hasilnya adalah caraku untuk mengerti dan memahami sebuah foto yang bergenre fineart.
Dengan
melihat aku belajar memotret. Apakah akan berhenti? Sejauh aku masih
bisa melihat dan masih bisa belajar, aku tidak akan berhenti. Aku yakin,
melalui foto yang aku hasilkan (entah apa pun bentuknya) aku bisa
menggunakannya sebagai sebuah sarana untuk bercerita dan berbagi. Semoga
Anda pun bisa menemukan setitik makna dalam foto-foto saya ini.
foto-foto ini dalam rangka mengikuti WPC 10 Grup Kampret.